Dek, Ibu dan Bapak Menyekolahkanmu untuk Jadi Sarjana bukan Pendemo

http://www.kaskus-dimension.com/2016/07/momen-yang-bisa-membuat-orang-tua-menangis.html


"Bu, adik ditangkap polisi," kata Bapak membuatku yang tengah memasukkan kayu ke perapian terkaget-kaget. Sementara itu, Ibu tak sengaja menumpahkan nasi yang setengah matang ke lantai karena. 

"Aduh Pak, lutut aku lemas," kata Ibu. 

Rasa kesal yang memuncak benar-benar menguasaiku. Ingin rasanya memarahi adikku sendiri saat ini juga. Gara-gara dia, beras hasil jerih payahku menjadi kuli angkut di pasar harus jatuh percuma ke lantai. Gara-gara dia, sakit asma Ibu kembali kambuh. Gara-gara dia, Bapak menjadi sering melamun karena cemas dengan apa kami harus menebus dia dari penjara. 

Dua hari yang lalu, adikku Purwanto mohon izin untuk ikut demo di istana negara. Belum selesai dia bicara, aku langsung tidak mengizinkan adikku jadi pendemo. 

"Mau ngapain sih demo ke istana, aku jadi kuli angkut di pasar bukan nyekolahin kamu untuk jadi demonstan. Bapak meskipun udah sepuh masih rela kerja di sawah buat biayain kamu jadi sarjana," kataku waktu itu. 

Tapi Purwanto bersikeras dengan pendapatnya. Demi Tuhan aku tidak peduli dengan apa yang dia katakan, soal keadilan untuk masyarakat, celah korupsi, demokrasi apalah itu. Aku hanya peduli kepada gelar sarjana yang akan didapatkan dia setelah lulus nanti. Bagaimana pun juga, dia akan menjadi Sarjana pertama dari keluarga kami. 

"Tapi abang harus melek dan peduli sama negeri ini," kata Purwanto.

"Sudah kubilang janganlah ikut rapat-rapat tidak jelas di kampus. Kamu tidak sadar siapa yang menjadi dalangmu kan?" kataku.

"Abang ini tak mengerti, aku tidak mau hanya jadi seorang Sarjana yang tidak peduli terhadap negeri ini, Bang. Tolonglah mengerti."

"Aku terpaksa berhenti sekolah agar kamu terus bisa sekolah, Dek. Sekarang setelah pengorbanan yang aku lakukan, apa yang kamu perbuat?"

"Percayalah, Bang yang benar akan selalu benar."

"Kamu tak mengerti, Dek."

"Abang yang tidak mengerti." 

Bapak dan Ibu hanya diam melihat perselisihan pendapat yang terjadi diantara kami. Sesekali Ibu menahan sakit akibat sesak nafas yang dideritanya, sementara Bapak menepuk-nepuk pundak Ibu dengan tabahnya. 

Sebagai anak tertua aku memang menjadi tumpuan keluarga. Sayangnya, ijazahku yang tidak tamat SMA membuatku tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Aku bekerja serabutan di pasar sebagai kuli panggul, sesekali bekerja menjadi tukang bangunan. Jika tidak ada pekerjaan aku memutuskan untuk pergi menjadi kondektur di terminal. 

Tapi, setelah Purwanto lulus di perguruan tinggi negeri di Jakarta, harapan keluarga kamu semakin tinggi. Aku mengharapkan adikku menjadi seorang sarjana yang nantinya akan mendapatkan pekerjaan yang layak tidak seperti aku. Begitupun Ibu dan Ayah yang sangat mengharapkan Purwanto menjadi sarjana. Sayangnya, harapan itu terhambat karena hari ini Purwanto ditangkap polisi dengan tuduhan sebagai provokator dalam aksi demo mahasiswa di istana. 

Ibu mana yang tega melihat anaknya menjadi tersangka. Semalaman Ibu menangis dalam sajadahnya. Bapak pun kulihat menahan ketir kekalutan dalam hatinya. Bapak sebenarnya ingin menangis namun Bapak masih tegar untuk menguatkan kami. 

"Biar aku saja yang ke Jakarta esok hari," kataku. 

Bapak menolaknya. 

"Bapak saja, kamu jaga Ibu," kata Bapak. 

"Ibu ingin ikut," kata Ibu. 

Bapak melihat ke arahku dengan tatapan sedih. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Berapa biaya yang harus dikeluarkan agar kami bertiga bisa pergi ke Jakarta menengok Purwanto dibalik jeruji besi. Beruntung aku masih mempunyai tabungan yang kusimpan di bawah tempat tidur. 

Keesokan harinya kami bertiga pergi ke Jakarta. Kami memutuskan menggunakan kereta dari Cirebon dan sampai di stasiun Pasar Senen. Kami segera menuju ke kantor polisi dimana Purwanto ditahan. 

Akhirnya kami sampai di kantor polisi sesuai dengan yang diinfokan oleh teman Purwanto. Kantor polisi saat ini sangat ramai. Banyak sekali orang-orang dengan membawa spanduk bertuliskan, "Demokrasi Harus Ditegakkan", "Mahasiswa Bergerak", "Satu Ditangkap Seribu Melawan". Ada yang masih berdiri dan setia berteriak ada juga yang sedang duduk-duduk di lantai menahan lelah karena seharian berdemo. 

Aku segera menghampiri seorang polisi dan bertanya dimana kah Purwanto berada. Dari balik jeruji besi, aku melihat sosok adikku yang sedang duduk termanggu menopang dagu. 

"Dek," kataku berteriak. 

Purwanto langsung berdiri. 

"Sudah kubilang aku benci kau jadi aktivis!" kataku. 

Purwanto menahan tangisnya. Lalu, Ibu dan Bapak datang menghampiri kami. Tangis Ibu pecah. Purwanto memegang tangan Ibu sangat erat. Sementara itu, Bapak masih tegar menahan tangis. 

"Aku benci kau jadi aktivis, Dek. Aku tidak peduli dengan slogan-slogan sialan itu," kataku. 

Purwanto memegang tanganku erat. 

"Maafkan aku, Bang," kata Purwanto. 

"Sahabatku hilang saat kerusuhan 98 sampai hari ini tak ku ketahui dimana jasadnya, Dek. Aku tidak ingin hal itu terjadi padamu," kataku. 

"Kami banting tulang agar kamu jadi sarjana bukan pendemo," kataku. 

Tangis Purwanto pecah. Tatapan Bapak kosong. Aku tahu apa yang dipikirkan Bapak. 

"Dimana kami harus mencari uang untuk menebus Purwanto."

Ibu masih mengelus-elus tangan Purwanto. Sementara aku dan Bapak saling menguatkan dan sama-sama berpikir dari mana kami mendapatkan uang. 

Aku melihat kearah Purwanto. 

"Dek, Ibu dan Bapak tak menyekolahkanmu untuk jadi demonstan," kataku lirih. 

Selesai.


Sebuah cerpen singkat ditulis ketika hujan turun di daerah Kemayoran. 

Jakarta, 23 Oktober 2017.

No comments