Negeri Dalam Sebuah Botol



            
Sumber gambar : https://www.amazon.com/Bormioli-Rocco-Stopper-Bottles-Beverages/dp/B01CUJQTPI
            “Piere, tangkap bolanya!” kata Yas.
            “Baiklah aku akan menangkapnya,” kata Piere.
            Bola pun terbang dan Piere mengejarnya dengan sangat cepat. Sebuah mesin berbentuk telapak kaki membuat Piere dengan cepat dapat menangkap bolanya meskipun bola ditendang jauh ke atas. Piere bisa terbang.
Selamat datang ditahun 3018. Tahun di mana tiada lagi ditemukan hamparan padi yang luas ataupun ikan yang berenang di lautan. Tahun di mana manusia tidak lagi membutuhkan kaki untuk berjalan melakukan aktivitasnya. Sebab, teknologi sudah sangat canggih untuk menyokong kehidupan manusia ditahun tersebut.
            Ditahun tersebut, dunia tidak lagi membutuhkan sawah untuk menanam padi maupun laut untuk memancing ikan. Sebab, makanan mereka hanyalah sebuah kapsul-kapsul yang dibuat dengan rentang waktu tertentu. Mereka yang memiliki banyak uang, tentu akan membeli kapsul yang dapat menahan lapar sampai 1 tahun. Sedangkan, mereka yang tidak memiliki banyak uang akan membeli kapsul seadanya setelah itu mereka akan menahan lapar.
            “Aku lelah,” kata Yas.
            “Baiklah, kita akan main lagi kan besok?” tanya Piere.
            “Tidak, Piere.”
            “Kenapa?”
            “Besok aku akan pergi ke Amaya.”
            Amaya adalah sebuah tempat di mana anak-anak yang memiliki banyak uang disekolahkan oleh orangtua mereka. Di Amaya, anak-anak akan diajari bagaimana membuat teknologi-teknologi canggih untuk kemaslahatan ummat manusia.
            Piere menundukkan kepalanya. Dia merasa sedikit kecewa, sebab dia tidak memiliki kesempatan untuk pergi ke Amaya. Untuk pergi ke Amaya, setiap keluarga harus masuk dalam kategori 3. Artinya, keuangan keluarga berada digaris rata-rata.
            “Baiklah, aku harus segera pulang,” kata Piere.
            Rumah ditahun 3018 hanya memiliki satu bentuk, yakni seperti sebuah botol. Setiap keluarga memang sudah memiliki rumah tetapi rumah yang mereka miliki sangat berbeda-beda. Rumah Yas luas dan sangat tinggi, sedangkan rumah Piere hanya 1/5 dari luas rumah Yas. Setiap rumah sudah memiliki jatah untuk mendapatkan sinar matahari setiap harinya, namun itu pun tergantung dari luas rumah yang mereka miliki.
            Tak lama kemudian Piere sampai di rumahnya. Dengan perasaan yang sedikit kecewa terhadap orangtuanya, dia menemui sang Ayah yang sedang duduk di ruang tamu. Sang Ayah menangkap kesedihan Piere.
            “Kemarilah, Nak,” kata sang Ayah.
            “Ayah, mengapa rumah kita sangat kecil? Mengapa cahaya yang kita dapatkan terbatas? Dan, mengapa Ayah tidak memiliki banyak harta untuk menyekolahkanku ke Amaya?” tanya Piere membuat sang Ayah memeluknya.
            “Kalau bisa ayah mengubahnya, pasti akan ayah ubah, Nak,” kata sang Ayah.
            “Kenapa ayah tidak bisa mengubahnya? Aku akan bantu ayah untuk merenovasi rumah kita,”kata Piere sedikit berbinar.
            “Tidak sayang. Rumah ini adalah pemberian nenek moyang kita. Kita tidak diperbolehkan untuk mengubah apapun yang sudah ada. Kita hanya bisa merawatnya.”
            “Tapi, kenapa nenek moyang kita mewariskan rumah yang kecil ini kepadaku ayah?”
            “Sudahlah, Nak. Ayah dapat 1 kapsul hari ini, kamu bagi dua dengan Ibu ya.”
            “Lalu, ayah?” tanya Piere.
            “Ayah masih kuat menahan lapar,” kata sang Ayah sambil memegang pundak anaknya mengisyaratkan ketegaran.
            Piere kecil segera menghampiri Ibunya yang berada di kamar. Dia melihat ibunya sedang terbaring lemas tak berdaya karena sudah sakit selama berbulan-bulan.
            “Bu, ayo makan kapsul ini,” kata Piere. 

“Kamu sudah makan?” tanya Ibunya.
            “Sudah, tadi aku sudah makan 1 di ruang tamu bersama Ayah,” kata Piere berbohong.
            Baginya, kesehatan sang Ibu sangatlah penting. Sehingga, ketika sang Ayah memintanya untuk membagi dua kapsul tersebut, Piere memberikan semuanya kepada sang Ibu. Setelah memberikan kapsul kepada sang Ibu, Piere segera pergi menuju kamarnya. Di kamar Piere merenung dan tanpa sadar dia meneteskan airmata. Dia begitu kesal kepada nenek moyangnya. Piere ingin bertemu dengan nenek moyangnya dan memberitahu apa yang terjadi akibat ulah mereka.
            “Kenapa hidupku harus menderita seperti ini?” tanya Piere dalam hati.
 

No comments